Minggu, 17 Mei 2015

RAHASIA DI BALIK LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU)

RAHASIA DI BALIK LAHIRNYA NAHDLATUL ULAMA (NU)

 Teks Translit Pidato KH. As'ad Syamsul Arifin

(KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam’iyah Ulama yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya).

Assalamu’alaikum Wr. Wb. yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. ANDA suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU?

Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.

Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam. Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama’ah, syariat Islam dari Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.

Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.

Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.

Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”

Kyai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”

“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.”

Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: “Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:

يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢﴾

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubat ayat 32)

Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.”

Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, Cuma bersalaman. “Saya puas sekarang” kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.

Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini.

Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: “Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.” Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: “Mendirikan Jamiyah (organisasi)”, kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.” Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”

Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini.

Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama Kyai: “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini (Kyai As'ad berkata: “Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja”): “Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): “Islam Ahlussunah wal Jama’ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Bawa ke Indonesia.”

Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini.

Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke Madinah.

Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.

Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: “As'ad, ke sini kamu!”

Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). “Arrahman Arrahim…”

Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”

“Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.”

Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.

Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?”

“Sudah Kyai.”

“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tahu rumahnya?”

“Tahu.”

“Kok tahu? Pernah mondok di sana?”

“Tidak. Pernah sowan.”

“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.”

“Ya, kyai.”

“Kamu punya uang?”

“Tidak punya, kyai.”

“Ini.”

Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.

Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: “Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”

“Ada kyai.”

“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”

Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21):

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾

“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel: “Orang ini gila. Muda pegang tongkat.”

Ada yang lain bilang: “Ini wali.”

Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak terserah kamu.

Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.

Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): “Siapa ini?”

“Saya, Kyai.”

“Anak mana?”

“Dari Madura, Kyai.”

“Siapa namanya?”

“As'ad.”

“Anaknya siapa?”

“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.”

“Anaknya Maimunah kamu?”

“Ya, Kyai”

“Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?”

“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.”

“Tongkat apa?”

“Ini, Kyai.”

“Sebentar, sebentar…”

Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?”

Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١﴾

“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.”

Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti.

Setelah itu saya mau pulang. “Mau pulang kamu?”

“Ya, Kyai.”

“Cukup uang sakunya?”

“Cukup, Kyai.”

“Saya cukup didoakan saja, Kyai.”

“Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”

Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama.

Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: “As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”

“Tidak, Kyai.”

“Hasyim Asy'ari?”

“Ya, Kyai.”

“Di mana rumahnya.”

“Tebuireng.”

“Dari mana asalnya?”

“Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari Keras.”

“Ya, benar. Di mana Keras?”

“Di baratnya Seblak.”

“Ya, kok tahu kamu?”

“Ya, Kyai.”

“Ini tasbih antarkan.”

“Ya, Kyai.”

Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.

Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: “Ke sini, makan dulu!”

“Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,”

“Dari mana kamu dapat?”

“Saya beli di jalan, Kyai”

“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”

“Ya, Kyai.”

Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?”

“Cukup, Kyai.”

“Tidak!”

Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.

“Ini.”

Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok leher?”

“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.”

“Ya, kalau begitu.”

Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: “Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.

Ada yang narik: “Karcis! karcis!”

Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.

Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: “Apa itu?”

“Saya mengantarkan tasbih.”

“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”

“Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher).

“Lho?”

“Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.”

Kemudian diambil oleh Kyai: “Apa kata Kyai?”

“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.”

“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.

Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jam’iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal. Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan.

sarjana NU pembangun desa

Add caption
Bolmong Utara, NU Online
Konferensi yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bolmong Utara akhir 2014 lalu menjadi saksi bahwa anak muda juga bisa tampil di depan memimpin NU. Supriadi Goma, anak nelayan yang saat itu berusi 31 tahun, terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Tanfidhiyah NU di ujung Sulawesi Utara tersebut.

Putra pertama dari pasangan Ali Goma dan Hatija Batalipu ini semasa kecil sudah merasakan getirnya hidup sebagai anak nelayan karena harus membantu sang ayah mencari nafkah, bertarung melawan ganasnya gelombang laut lepas yang berbatasan dengan Negara Filipina. Sejak enam tahun terakhir orang-orang sering memanggilnya Gus Upik.

Pada usia 6 tahun, Gus Upik disekolahkan orang tuanya di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Khairaat Ayong, lembaga pendidikan yang kini sudah tidak beroperasi lagi. Pada tahun 1995, pria yang lahir di Desa Ayong (daerah pesisir pantai Sulawesi Utara) pada 15 Februari 1983 ini menimba ilmu di Pondok Pesantren Alkhairaat Bintauna.

Selama mondok, ia sempat diasuh oleh beberapa ulama seperti KH Harsono Misaalah (Mustasyar PCNU Bolmong Utara), Ust. Hamdan Pohontu (Katib PCNU Bolmong Utara),  Syekh Abdul Ati Abdul Wahab Abdussalam (alumni Kairo). Semasa nyantri, ia dipercayakan sebagai Ketua Persatuan Pelajar Islam Al-Khairaat.

Pada tahun 2001, ia menamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren Alkhairaat Bintauna dan pada tahun yang sama ia melanjutkan studinya di IAIN Sultan Amai Gorontalo. Semasa  kuliah di IAIN Sultan Amai Gorontalo ia aktif di organisasi ekstrakampus,  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Selama aktif di PMII, Gus Upik pernah menjabat sebagai Ketua Rayon Tarbiyah tahun 2003, Ketua Komisariat 2004, dan Ketua Cabang PMII Kota Gorontalo 2005. Selain itu ia aktif di intrakampus dan sempat menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Tarbiayah dan wakil presiden BEM IAIN Sultan Amai Gorontalo periode 2005-2006.

Selama menjalani masa kemahasiswaan, ia aktif dalam memimpin gerakan PMII Gorontalo, mulai dari proses kaderisasi  formal sampai informal. Karena terlalu sibuk mengurus PMII, kuliahnya molor sampai 3 tahun. Ia sempat mengikuti Kongres PMII di Bogor dan berhasil berpartisipasi mengantarkan sahabat Hery Hariyanto Azumi sebagai Ketua Umum PB PMII.

Setelah selesai kuliah tahun 2007, pada usia yang relatif muda ia diajak KH. Gofir Nawawi (pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Randangan) untuk menjadi Sekretaris Umum Wilayah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Provinsi Gorontalo dan berhasil mengantarkan PKNU memperoleh suara signifikan di Gorontalo pada pemilu legislatif tahun 2009.

Bolmong Utara, NU Online
Konferensi yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bolmong Utara akhir 2014 lalu menjadi saksi bahwa anak muda juga bisa tampil di depan memimpin NU. Supriadi Goma, anak nelayan yang saat itu berusi 31 tahun, terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Tanfidhiyah NU di ujung Sulawesi Utara tersebut.

Putra pertama dari pasangan Ali Goma dan Hatija Batalipu ini semasa kecil sudah merasakan getirnya hidup sebagai anak nelayan karena harus membantu sang ayah mencari nafkah, bertarung melawan ganasnya gelombang laut lepas yang berbatasan dengan Negara Filipina. Sejak enam tahun terakhir orang-orang sering memanggilnya Gus Upik.

Pada usia 6 tahun, Gus Upik disekolahkan orang tuanya di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Khairaat Ayong, lembaga pendidikan yang kini sudah tidak beroperasi lagi. Pada tahun 1995, pria yang lahir di Desa Ayong (daerah pesisir pantai Sulawesi Utara) pada 15 Februari 1983 ini menimba ilmu di Pondok Pesantren Alkhairaat Bintauna.

Selama mondok, ia sempat diasuh oleh beberapa ulama seperti KH Harsono Misaalah (Mustasyar PCNU Bolmong Utara), Ust. Hamdan Pohontu (Katib PCNU Bolmong Utara),  Syekh Abdul Ati Abdul Wahab Abdussalam (alumni Kairo). Semasa nyantri, ia dipercayakan sebagai Ketua Persatuan Pelajar Islam Al-Khairaat.

Pada tahun 2001, ia menamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren Alkhairaat Bintauna dan pada tahun yang sama ia melanjutkan studinya di IAIN Sultan Amai Gorontalo. Semasa  kuliah di IAIN Sultan Amai Gorontalo ia aktif di organisasi ekstrakampus,  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Selama aktif di PMII, Gus Upik pernah menjabat sebagai Ketua Rayon Tarbiyah tahun 2003, Ketua Komisariat 2004, dan Ketua Cabang PMII Kota Gorontalo 2005. Selain itu ia aktif di intrakampus dan sempat menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Tarbiayah dan wakil presiden BEM IAIN Sultan Amai Gorontalo periode 2005-2006.

Selama menjalani masa kemahasiswaan, ia aktif dalam memimpin gerakan PMII Gorontalo, mulai dari proses kaderisasi  formal sampai informal. Karena terlalu sibuk mengurus PMII, kuliahnya molor sampai 3 tahun. Ia sempat mengikuti Kongres PMII di Bogor dan berhasil berpartisipasi mengantarkan sahabat Hery Hariyanto Azumi sebagai Ketua Umum PB PMII.

Setelah selesai kuliah tahun 2007, pada usia yang relatif muda ia diajak KH. Gofir Nawawi (pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Randangan) untuk menjadi Sekretaris Umum Wilayah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Provinsi Gorontalo dan berhasil mengantarkan PKNU memperoleh suara signifikan di Gorontalo pada pemilu legislatif tahun 2009.

Bolmong Utara, NU Online
Konferensi yang digelar Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bolmong Utara akhir 2014 lalu menjadi saksi bahwa anak muda juga bisa tampil di depan memimpin NU. Supriadi Goma, anak nelayan yang saat itu berusi 31 tahun, terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Tanfidhiyah NU di ujung Sulawesi Utara tersebut.

Putra pertama dari pasangan Ali Goma dan Hatija Batalipu ini semasa kecil sudah merasakan getirnya hidup sebagai anak nelayan karena harus membantu sang ayah mencari nafkah, bertarung melawan ganasnya gelombang laut lepas yang berbatasan dengan Negara Filipina. Sejak enam tahun terakhir orang-orang sering memanggilnya Gus Upik.

Pada usia 6 tahun, Gus Upik disekolahkan orang tuanya di Madrasah Ibtidaiyyah Al-Khairaat Ayong, lembaga pendidikan yang kini sudah tidak beroperasi lagi. Pada tahun 1995, pria yang lahir di Desa Ayong (daerah pesisir pantai Sulawesi Utara) pada 15 Februari 1983 ini menimba ilmu di Pondok Pesantren Alkhairaat Bintauna.

Selama mondok, ia sempat diasuh oleh beberapa ulama seperti KH Harsono Misaalah (Mustasyar PCNU Bolmong Utara), Ust. Hamdan Pohontu (Katib PCNU Bolmong Utara),  Syekh Abdul Ati Abdul Wahab Abdussalam (alumni Kairo). Semasa nyantri, ia dipercayakan sebagai Ketua Persatuan Pelajar Islam Al-Khairaat.

Pada tahun 2001, ia menamatkan pendidikannya di Pondok Pesantren Alkhairaat Bintauna dan pada tahun yang sama ia melanjutkan studinya di IAIN Sultan Amai Gorontalo. Semasa  kuliah di IAIN Sultan Amai Gorontalo ia aktif di organisasi ekstrakampus,  Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Selama aktif di PMII, Gus Upik pernah menjabat sebagai Ketua Rayon Tarbiyah tahun 2003, Ketua Komisariat 2004, dan Ketua Cabang PMII Kota Gorontalo 2005. Selain itu ia aktif di intrakampus dan sempat menjabat sebagai ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Tarbiayah dan wakil presiden BEM IAIN Sultan Amai Gorontalo periode 2005-2006.

Selama menjalani masa kemahasiswaan, ia aktif dalam memimpin gerakan PMII Gorontalo, mulai dari proses kaderisasi  formal sampai informal. Karena terlalu sibuk mengurus PMII, kuliahnya molor sampai 3 tahun. Ia sempat mengikuti Kongres PMII di Bogor dan berhasil berpartisipasi mengantarkan sahabat Hery Hariyanto Azumi sebagai Ketua Umum PB PMII.

Setelah selesai kuliah tahun 2007, pada usia yang relatif muda ia diajak KH. Gofir Nawawi (pemimpin Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Randangan) untuk menjadi Sekretaris Umum Wilayah Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Provinsi Gorontalo dan berhasil mengantarkan PKNU memperoleh suara signifikan di Gorontalo pada pemilu legislatif tahun 2009.

Pada tahun 2009 ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi  Arianti Palima. Wanita yang telah di kenalnya semasa kuliah, wanita yang selalu mendampingi dan menjadi spirit perjuangan menapaki perjalanan setapak demi setapak dalam membesarkan PMII gorontalo ,

Pada akhir 2009,  lelaki yang hobi menulis ini, kemudian meninggalkan panggung politik yang telah dirintisnya bersama sang kiai. Ia kemudian meninggalkan Gorontalo dan kembali ke tanah kelahiran Bolaang Mongondow Utara dan mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil pada sebuah SMK N Kaidipang mengajar Pendidikan Agama Islam. Di tengah aktivitasnya sebagi PNS bukan berarti mengurangi kecintaanya terhadap aktivitas ke-NU-an. Dalam kurun waktu 2009-2015, ia menjadi lokomotif penggerak semangat  generasi Muda NU yang ada di tanah Bolmong Utara.

Bersama dengan beberapa sahabat yang lain Ayah dari Latifa dan Wahab Hasbullah ini mendirikan cabang IKAPMII (Ikatan Alumni PMII) sebagai wadah berkumpulnya  para alumni PMII dari berbagai generasi dan almamater kampus untuk berbagi gagasan dalam membesarkan NU di tanah Bolmong Utara. Pada tahun 2010, ia mengikuti Muktamar NU di Makassar, tahun 2012 ia diundang tim kaderisasi nasional PBNU untuk mengikuti Pendidikan Kader Penggerak NU angkatan ke-2 di Kerawang Rengasdengklok, dan pada tahun 2013 ia menjadi peserta Konferensi Wilayah NU Provinsi Sulawesi Utara dan dipercayakan oleh tim formatur menjadi Wakil sekretaris PWNU Sulut.

PCNU Kabupaten Bolmong Utara termasuk cabang NU yang memberikan ruang yang luas baagi generasi muda untuk menjalankan roda organisasi NU. Dalam suasana inilah Supriadi Goma mendapat kepercayaan memimpin PCNU Kabupaten Bolmong Utara periode 2014-2019. Ia diangkat secara  aklamatif oleh enam Majelis Wakil Cabang NU (MWCNU) pada Konferensi Cabang (Konfercab) II. (Don AL Lamunte/Mahbib)Pada tahun 2009 ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi  Arianti Palima. Wanita yang telah di kenalnya semasa kuliah, wanita yang selalu mendampingi dan menjadi spirit perjuangan menapaki perjalanan setapak demi setapak dalam membesarkan PMII gorontalo ,

Pada akhir 2009,  lelaki yang hobi menulis ini, kemudian meninggalkan panggung politik yang telah dirintisnya bersama sang kiai. Ia kemudian meninggalkan Gorontalo dan kembali ke tanah kelahiran Bolaang Mongondow Utara dan mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil pada sebuah SMK N Kaidipang mengajar Pendidikan Agama Islam. Di tengah aktivitasnya sebagi PNS bukan berarti mengurangi kecintaanya terhadap aktivitas ke-NU-an. Dalam kurun waktu 2009-2015, ia menjadi lokomotif penggerak semangat  generasi Muda NU yang ada di tanah Bolmong Utara.

Bersama dengan beberapa sahabat yang lain Ayah dari Latifa dan Wahab Hasbullah ini mendirikan cabang IKAPMII (Ikatan Alumni PMII) sebagai wadah berkumpulnya  para alumni PMII dari berbagai generasi dan almamater kampus untuk berbagi gagasan dalam membesarkan NU di tanah Bolmong Utara. Pada tahun 2010, ia mengikuti Muktamar NU di Makassar, tahun 2012 ia diundang tim kaderisasi nasional PBNU untuk mengikuti Pendidikan Kader Penggerak NU angkatan ke-2 di Kerawang Rengasdengklok, dan pada tahun 2013 ia menjadi peserta Konferensi Wilayah NU Provinsi Sulawesi Utara dan dipercayakan oleh tim formatur menjadi Wakil sekretaris PWNU Sulut.

PCNU Kabupaten Bolmong Utara termasuk cabang NU yang memberikan ruang yang luas baagi generasi muda untuk menjalankan roda organisasi NU. Dalam suasana inilah Supriadi Goma mendapat kepercayaan memimpin PCNU Kabupaten Bolmong Utara periode 2014-2019. Ia diangkat secara  aklamatif oleh enam Majelis Wakil Cabang NU (MWCNU) pada Konferensi Cabang (Konfercab) II. (Don AL Lamunte/Mahbib)Pada tahun 2009 ia memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi  Arianti Palima. Wanita yang telah di kenalnya semasa kuliah, wanita yang selalu mendampingi dan menjadi spirit perjuangan menapaki perjalanan setapak demi setapak dalam membesarkan PMII gorontalo ,

Pada akhir 2009,  lelaki yang hobi menulis ini, kemudian meninggalkan panggung politik yang telah dirintisnya bersama sang kiai. Ia kemudian meninggalkan Gorontalo dan kembali ke tanah kelahiran Bolaang Mongondow Utara dan mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil pada sebuah SMK N Kaidipang mengajar Pendidikan Agama Islam. Di tengah aktivitasnya sebagi PNS bukan berarti mengurangi kecintaanya terhadap aktivitas ke-NU-an. Dalam kurun waktu 2009-2015, ia menjadi lokomotif penggerak semangat  generasi Muda NU yang ada di tanah Bolmong Utara.

Bersama dengan beberapa sahabat yang lain Ayah dari Latifa dan Wahab Hasbullah ini mendirikan cabang IKAPMII (Ikatan Alumni PMII) sebagai wadah berkumpulnya  para alumni PMII dari berbagai generasi dan almamater kampus untuk berbagi gagasan dalam membesarkan NU di tanah Bolmong Utara. Pada tahun 2010, ia mengikuti Muktamar NU di Makassar, tahun 2012 ia diundang tim kaderisasi nasional PBNU untuk mengikuti Pendidikan Kader Penggerak NU angkatan ke-2 di Kerawang Rengasdengklok, dan pada tahun 2013 ia menjadi peserta Konferensi Wilayah NU Provinsi Sulawesi Utara dan dipercayakan oleh tim formatur menjadi Wakil sekretaris PWNU Sulut.

PCNU Kabupaten Bolmong Utara termasuk cabang NU yang memberikan ruang yang luas baagi generasi muda untuk menjalankan roda organisasi NU. Dalam suasana inilah Supriadi Goma mendapat kepercayaan memimpin PCNU Kabupaten Bolmong Utara periode 2014-2019. Ia diangkat secara  aklamatif oleh enam Majelis Wakil Cabang NU (MWCNU) pada Konferensi Cabang (Konfercab) II. (Don AL Lamunte/Mahbib)